Selasa, 08 Februari 2011

Cerita Fiksi

Gerimis Senja Hari

Aku kembali menyusuri suatu masa dimana aku pernah mengenal sesuatu yang indah. Sayup – sayup kudengar suara - suara itu. Suara-suara yang begitu akrab di telingaku enam tahun lalu.
Perlahan kututup buku harianku, kulangkahkan kakiku menuju suara-suara itu.
“Hai, Nadine, kemana aja? Hampir satu setengah jam kita menunggumu!” Lepka. Ya, itu Lepka. Burung camar yang selalu terluka namun tak seorangpun tahu kecuali aku. Ia begitu manis kini.
Tak ada senyum malu-malu ataupun sinar mata yang begitu rapuh. Ia terlihat ceria bersama seorang laki-laki di sampingnya. Namun aku tak mengenalnya.
“Kamu datang sendiri, Nadine? Tidak bersama Bara?”
Ah, Leo masih berkaca mata seperti dulu dan ia menyebutkan satu nama yang membuat hatiku berdesir untuk sesaat. Leo menggenggam jemari seorang gadis ayu berambut hitam lebat sebahu. Kirana? Oh, rupanya mereka tetap dekat seperti dulu. Masihkah mereka menjalin hubungan?
“Duduklah di sini, Nadine. Kau tampak pendiam, ada yang berubah denganmu?” Arga masih tetap perhatian seperti dulu. Sosok tegap, kalem dan bermata elang itu begitu dewasa kini. Tetapi gadis yang disampingnya bukanlah gadis tomboi seperti enam tahun yang lalu. Polesan make-up warna pastelnya serasi dengan gaun krem yang dikenakkannya. Rambutnya tergerai sepinggang. Ah, Siska telah berubah. Ia tersenyum lembut padaku sambil melambaikan tangan gemulai. Tidak urakan dan slebor seperti dulu.
Aku menarik napas panjang dan tersenyum manis pada mereka. Bahkan aku rasa senyum yang paling manis yang kuberikan saat ini.
“Kamu dan Bara masih tetap cuek seperti dulu di depan kami. Padahal kalau sudah berduaan, tampak hangat dan mesra,” ujar Leo. “Bara datang bersamamu, kan? Tapi dia selalu berpura-pura terlambat seolah-olah datang sendiri,” lanjut Leo tepat sekali.
Bara memang jarang sekali bersikap mesra di depan teman-teman. Ia bilang, ia merasa malu dan riskan jika ia harus memelukku terang-terangan. Namun saat aku dan dia hanya berdua, aku bisa terbuai oleh kelembutannya. Ah, Bara . . . datangkah kau hari ini sesuai dengan perjanjian kita enam tahun yang lalu?
“Nadine, kau tetap cantik seperti dulu. Bahkan makin cantik. Aku sempat takut Rangga akan terpesona melihatmu. Tadinya Rangga tak akan kuajak tapi ia berhasil meyakinkanku kalau aku takkan terkalahkan oleh siapapun,” kata Lepka manja dan teramat ceria. Lepka benar-benar berubah. Ia tampak bersemangat dan bahagia. Syukurlah, ada seorang pria yang dapat membuat ia tak lagi terluka dan rapuh seperti dulu.
Lepka mengenalkan Rangga padaku. Tampan, pujiku dalam hati. Tampan? Ah, ketampanan Bara selalu yang terindah di hatiku. Bara yang tampan, energik dan Bara yang seorang ketua OSIS ketika SMP dulu masih kuingat. Klise memang, seorang ketua OSIS, tampan dan pandai. Tetapi itulah Bara Gumilar. Laki-laki yang tak henti berusaha untuk mendapatkan perhatianku dan akupun luluh karenanya.
“Eh, lihat . . . siapa yang berdiri di sana?” Serentak semuanya menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh Arga.
Mungkin jika dalam film, saat kepalaku menoleh, saat itulah slow motion dilakukan dan berakhir dengan ekspresi terpesona yang tertahan.
Bara berdiri tak jauh di belakangku. Penampilannya tetap bersahaja namun begitu memikat. Hanya saja rambutnya tampak lebih gondrong namun meski begitu, aku tetap bisa melihat wajah damainya dengan jelas. Ia tersenyum dan berjalan ke arah kami.
“Hai, semua. Maaf aku terlambat,” katanya.
“Seperti biasa, “ sahut Arga.
“Seperti enam tahun yang lalu,” timpal Leo.
Bara menyalami semuanya kecuali aku. Setelah itu ia duduk di sampingku. Barulah ia meraih jemari tanganku lalu diciumnya. Perlahan. Napasku terhenti sesaat dan aku pikir sikap Bara barusan bukanlah sikap Bara yang kukenal dulu.
“Apa kabarmu, manis?” tanya Bara nyaris berbisik. Sinar matanya menatapku teduh, seperti dulu.
Aku tersenyum padanya. “Tak ada yang lebih baik selama ini kecuali saat aku melihatmu kembali, Bar!” sahutku lirih.
Bara tetap menggenggam jemariku lembut. Semua yang melihat tampak terperangah. Tetapi Bara tak mempedulikannya.
Siska berdehem kecil. Bara melirik Siska dengan sudut matanya. Lalu melepaskan genggamannya di tanganku. Namum Bara tetap duduk rapat di sebelahku. Kehangatan yang luar biasa menjalar di tubuhku.
Seperti enam tahun lalu, tak ada wangi parfum yang bisa kuhirup jika berdekatan dengan Bara. Hanya aroma khas tubuhnyalah yang selalu mampir dalam penciumanku.
Percakapan demi percakapan berlangsung lama. Senja di pantai Losari telah tergantikan oleh sang malam. Kuperhatikan satu persatu teman-temanku. Mereka benar-benar berubah.
Leo dan Kirana ternyata memang sudah bertunangan. Tetapi Arga dan Siska tak lagi menjalin hubungan. Mereka sudah memiliki pasangan masing-masing. Tetapi mereka berdua sepakat untuk datang tanpa pasangannya.
Lalu Bara, ia datang sendiri. Mungkinkah ia juga masih sendiri atau meninggalkan pasangannya sementara hanya untuk menghadiri reuni malam ini.
Aku, Bara, Lepka, Leo, Kirana, Arga dan Siska adalah delapan orang sahabat yang nyaris kehilangan komunikasi sejak lulus SMP. Namun kami mempunyai satu janji untuk datang di tempat ini. Tempat pertama kali kami meresmikan persahabatan kami.
Enam tahun tak membuat kami melupakan janji. Sebuah janji persahabatan. Meski kami telah berubah. Ya, semua berubah, termasuk Bara. Kini dengan santai ia mendekap pundakku dan sesekali membelai rambutku lembut. Ia tak lagi canggung ataupun malu-malu bersikap mesra terhadapku di depan yang lain. Sejenak aku berasumsi, Bara masih memiliki getar yang sama denganku. Saling mencintai.
Setelah puas bercengkarama, kami memutuskan pulang sekitar jam sebelas malam. Leo dan Kirana juga Lepka dan Rangga tentunya pulang bersama-sama. Begitu juga dengan Arga dan Siska.
Tinggal aku dan Bara. Ternyata Bara dijemput oleh Ryan, temannya. Ia mengenalkanku pada Ryan. Entah mengapa ada perasaan aneh yang menyusup di hatiku saat menjabat tangan Ryan. Ia begitu tampan dan aku terpana melihatnya.
“Hati-hati Bar, jangan sampai teman kamu luluh dengan kecantikkan Nadine,” ujar Lepka pada Bara.
Aku merasa jengah dengan ucapan Lepka sementara Bara hanya tersenyum tipis. Teramat tipis.

Aku tenggelam dalam gerimis senja hari. Bersama Bara tentunya. Dua hari setelah pertemuan itu, aku dan Bara berjanji untuk bertemu di taman bunga. Beruntung, kursi tembok yang kami duduki terlindungi atap ijuk, seperti enam tahun lalu. Dimana pertama kali aku dan Bara mengikat tali kasih, jadi gerimis tak berhasil membasahi tubuhku dan Bara.
“Apa kabarmu selama ini, Din?” Kalimat pertama yang terucap dari bibir Bara setelah beberapa saat kami hanya terdiam.
“Tak ada yang dapat membuat hatiku tersenyum selain bertemu denganmu kini,” sahutku lirih.
Bara menoleh. “Lalu apa yang terjadi denganmu selama enam tahun terakhir?” tanya Bara terdengar hati-hati.
“Dengan apa, Bar? Sekolahku? Keluargaku ataukah dengan perasaanku?” sahutku balik bertanya.
Bara terdiam dan menelan ludah. Pandangannya kembali lurus ke depan, memandangi rintik hujan. Kuperhatikan wajahnya dari samping. Wajah yang selalu menghias mimpi-mimpi malamku.
“Apa yang kau lakukan setelah perpisahan kita, Nadine?” tanya Bara pelan.
“Apa yang aku lakukan? Pertanyaan bodoh apa ini? Perpisahan bukanlah hal yang kuinginkan saat itu, Bar!”
“Tapi kita memang berpisah, bukan? Kau harus meninggalkan Lombok dan ikut dengan ayahmu ke Jakarta.”
“Tapi bukan berarti hati kitapun harus terpisah, Bar!” sanggahku.
“Jakarta sarat pesona, Nadine. Kau adalah gadis yang teramat cantik. Aku tak mau kau melewatkan masa mudamu dengan kesendirian.”
“Aku tak sendirian, Bara. Aku punya kamu. Tetapi kau tega menghapus cinta itu dari hatimu!”
“Cintaku selalu utuh padamu. Tetapi cinta tak cukup untuk dapat menyusulmu ke Jakarta dan meninggalkan ibuku satu-satunya dalam keadaan sakit. Aku tak punya siapa-siapa di dunia ini selain ibuku.”
“Aku tak pernah mengerti jalan pikiranmu, Bar. Bagiku jarak bukanlah suatu kendala bagi kita untuk saling mencintai.” Aku tetap dengan argumenku.
Bara menarik napas dalam. “Aku tak bisa membayangkan kau melewatkan hari-hari tanpaku, bermalam minggu sendirian dan . . . .”
“Cukup, Bar! Aku tak pernah melewatkan malam minggu sendirian. Prof. Alysus selalu memintaku menemaninya di lab telematika atau aku selalu menenggelamkan diriku di anatar buku-buku tebal yang ketebalannyapun tak bisa menghalangiku untuk selalu merindukanmu. Kau tahu, Bar? Perpisahan teramat menyiksaku,” kataku parau.
“Tak adakah seseorang yang dapat mengubah kesendirianmu menjadi sebuah ketenangan?” tanya Bara nyaris berbisik.
“Ada, Bar. Tetapi kau harus tahu. Kesendirian yang kulalui memang menyakitkan. Namun selalu ada indah yang menyertainya. Kau tahu karena apa, Bar?”
Bara menatapku lekat.
"Karena kau, Bara. Seseorang yang dapat menenangkan kegelisahanku tetaplah dirimu.”
Bara terperangah untuk sesaat. Aku ingin sekali memeluknya. Kemudian kami kembali terdiam. Sedikit lama.
“Siapakah gadis beruntung yang mengisi hatimu kini?” tanyaku kembali membuka percakapan.
“Setelah aku berpisah denganmu, tak ada lagi seorang gadis yang mampu membuat hatiku tergetar, Din!”
Hatiku melambung mendengar jawaban Bara. “Itu berarti rinduku selama ini selalu sama dengan apa yang rasakan, Bar?”
“Aku telah berubah, Nadine.”
“Maksudmu?”
“Ada perubahan besar dalam diriku yang terjadi dengan sendirinya. Aku sama sekali tak ingin menerimanya namun akupun tak punya kekuatan untuk menolaknya. Lalu kubiarkan aku dengan perubahanku. Ada kenikmatan tersendiri yang menghampiriku meski aku tahu, perubahan itu terlarang. Namun aku manusia, Din. Punya rasa, kekurangan dan kelebihan. Aku pikir yang terjadi pada diriku bukanlah sesuatu yang hina,” papar Bara yakin.
“Aku tak mengerti maksud ucapanmu,” kataku.
“Akupun tak pernah membuat orang lain untuk mengerti pada apa yang terjadi denganku. Biarlah mereka dengan pendapatnya. Aku yakin, mereka bisa mengerti dan menerimanya meski ada sebagian dari mereka yang memicingkan mata.”
Aku semakin mengernyit. “Bisakah kau lebih memperjelas kata-katamu, Bar?” Aku merasa Bara terlalu bertele-tele.
“Aku takut kau merasa jijik padaku, Nadine!”
Bara menyentuh pundakku dan meremasnya erat.
“Nadine, pandanglah aku. Apa yang kau temukan di mataku?”
“Aku hanya tidak ingin menemukan seseorang berenang dan tinggal di dalam telaga bening matamu, Bar! Aku, aku tak bisa melihat apa-apa di sana,” jawabku.
“Dulu, kau selalu bisa menerka apa yang ada dalam hatiku dengan menatapku. Tatap aku lebih lekat, Nadine!” pinta Bara begitu lembut.
“Bara, andaipun ada bahasa mata, aku tetap tak bisa menerka apa yang kau rasakan sekarang. Mungkin karena aku telah lama tak melihatmu,” katakku berasumsi.
Bara melepaskan genggaman jemari tangannya di pundakku. Perlahan jemarinya menyentuh wajahku seperti yang selalu ia lakukan dulu.
“Rasakanlah, Nadine. Katakan apa yang kau rasakan dari sentuhan tanganku,” pinta Bara aneh.
Aku pejamkan mataku dan merasakan setiap belaian jemari Bara di wajahku. Aku tak mengerti kemana perasaan indah yang selalu aku rasakan dari sentuhannya? Kubuka perlahan kedua mataku.
“Aku merasakan kegalauan, bimbang dan cinta dalam sentuhanmu. Tetapi tak ada getar kasih dalam sentuhanmu, Bar!”
Bara menarik napas panjang.
“Bar, dengarkan aku. Ada yang membuatmu risau? Ceritakanlah, apapun itu aku akan berusaha untuk bisa memahaminya,”kataku.
“Aku takut, Nadine!” jawabnya sambil menunduk.
“Takut? Kenapa mesti takut? Aku tak akan menggigitmu, Bara!” sahutku sedikit guyon.
“Aku takut kalau aku yang akan menggigitmu dan itu pasti menyakitkanmu, Din!”
“Kesakitan seperti apapun itu tak ada yang membuatmu sakit kecuali melihatmu menderita.”
Bara terdiam. Kembali ia memandangi gerimis senja.
“Tadinya kuharap dengan bertemu dengamu akan mengembalikanku seperti dulu, ketika kita masih bersama.”
Perlahan, Bara meraih jemariku dan menggenggamnya erat. Ada kegetiran yang kurasakan dari telapak tangan Bara. Tuhan, ada apakah dengan Baraku? Sepertinya ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku.
Menurutnya ia telah berubah. Perubahan apa yang terjadi pada dirinya? Siapakah ia kini? Masihkah laki-laki yang ada di hadapanku sekarang adalah Bara yang mencintaiku?
Bara melepaskan genggamannya di jemariku. Ia menunduk dalam. Terpekur memandangi kedua lututnya. Akupun membiarkannya terdiam seperti itu. Memberinya keleluasaan untuk berfikir apa yang akan ia katakan selanjutnya.
Lama keheningan tercipta di antara kami. Hati-hati kusentuh pundaknya. Bara tak bergeming.
“Bara,” lirih kupanggil namanya.
Bara menoleh. Mata beningnya berubah menjadi merah. Ah, menangiskah ia?
“Apa yang terjadi denganmu, hm?”
Bara menarik tubuhku, akh . . . .
Sejenak aku terbuai oleh hangat ciumannya di bibirku. Cukup lama. Kupejamkan mataku rapat-rapat dan tetap terpejam meski Bara tak lagi menciumku.
“Satu yang perlu kau tahu, puteriku. Tak ada gadis lain yang mengisi hatiku setelah dirimu. Kau tetap yang terindah dari yang terindah. Percayalah itu, puteriku!”
Bergetar kurasakan bibir Bara mengucapkan kata-kata itu di telingaku.
Kubuka mataku perlahan-lahan. Kusunggingkan senyum yang paling manis untuknya. Kami saling berpelukan mesra. Ah, aku ingin senja ini berlalu dengan lambat. Aku ingin menikmati keindahanku bersama Bara. Namun dari kejauhan sana. Audi hitam jemputan Bara melaju ke arah kami.
“Aku antar kamu pulang, Nadine!” Bara berdiri dan meraih tanganku. Audi hitam itu telah berada di hadapanku dan Bara.
Kaca mobil terbuka, seraut wajah tampan milik Ryan mempersilahkanku dan Bara untuk masuk ke dalam mobil.
Aku duduk sendiri di jok belakang. Di dalam mobil, tak ada yang berkata-kata. Bara dan Ryan menatap lurus ke sepanjang jalan yang basah. Aku menatap gerimis yang semakin deras dari jendela mobil.
Entah kenapa ada sesuatu yang membuat hatiku tak enak berada dalam mobil yang kutumpangi. Lalu perasaan tak enakku membuncah menjadi perasaan jijik, sedih dan lemas takkala melihat Bara dan Ryan saling membelai, berpelukan dan akh . . . .
Inikah jawaban kemisteriusan Bara sejak di taman itu? Inikah perubahan yang terjadi padanya? Oh Tuhan, Baraku! Aku melongo. Kelu. Lututku lemas. Gerimis senja telah menjadi hujan. Membasahi luka yang tertoreh kian dalam di hatiku. Perih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar